Polusi udara merupakan salah satu masalah lingkungan yang serius di Jakarta. Menurut data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kualitas udara di Jakarta pada tahun 2023 masih berada di level tidak sehat.
Untuk mengatasi masalah polusi udara ini, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan swasta. Salah satu upaya yang dilakukan oleh swasta adalah dengan mengembangkan startup-startup yang bergerak di bidang teknologi lingkungan.
Coba bayangkan: kamu sedang bekerja di lapangan dengan cuaca panas yang menyengat, lalu tiba-tiba kamu merasa pusing dan mengalami demam, dan hidungmu berdarah. Dua minggu kemudian, kamu menderita batuk yang tak kunjung sembuh serta kesulitan bernafas.
Itulah yang terjadi pada seorang wanita berusia 31 tahun bernama Nina Rosalyne pada September 2023, yang dipicu oleh polusi udara di Jakarta. Kondisi Nina makin memburuk karena infeksi pernapasan yang sudah ia derita sebelumnya.
Baru ketika saudara-saudaranya menunjukkan gejala serupa dan ia merasakan nyeri dada yang hebat, ia baru dilarikan ke rumah sakit. Di sana, diagnosis yang ia terima sangat mengkhawatirkan–infeksi membuat paru-parunya penuh dengan lendir.
Nina hanyalah salah satu dari banyak korban polusi udara parah yang telah membuat sebagian penduduk ibu kota menderita.
Polusi udara Jakarta telah menyebabkan 8.100 kematian tahun ini, dan menimbulkan kerugian sekitar Rp32 triliun menurut sebuah laporan dari perusahaan teknologi kualitas udara, IQAir.
Kementerian Kesehatan juga mengungkapkan bahwa pada Agustus 2023, kasus penyakit pernapasan yang terkait dengan polusi telah meningkat menjadi 200.000 dari 50.000 sebelum Covid-19.
Namun, menengok era pandemi Covid-19 dulu, ada sisi positif di tengah krisis kesehatan saat ini: polusi udara di Jakarta bisa mendorong pertumbuhan jangka panjang startup yang secara langsung mengatasi masalah kesehatan ini, seperti perangkat pemantauan udara dan konverter karbon dioksida (CO2), serta startup di bidang-bidang terkait, termasuk pengelolaan sampah dan berbagi tumpangan.
Dampak dari puluhan tahun
Rosalyne dan beberapa pekerja muda lainnya yang terdampak polusi udara berencana menggunakan perangkat pemantauan udara setelah mereka pulih dan kembali ke rutinitas masing-masing.
Nafas menyediakan salah satu perangkat tersebut. Dalam waktu hanya dua minggu selama Agustus, aplikasi dari startup itu mengalami peningkatan pengguna yang mencengangkan sebesar 400 persen, kata co-founder sekaligus Chief Growth Officer, Piotr Jakubowski.
Baru-baru ini, Nafas merilis sebuah whitepaper bersama dengan perusahaan healthtech, Halodoc, untuk menelaah hubungan antara polusi udara dan kesehatan pernapasan.
Penelitian mereka menemukan bahwa keluhan pernapasan di Indonesia meningkat sebesar 34 persen, seiring dengan peningkatan partikel halus pada Juni 2023.
Didanai oleh mitra-mitra korporasi, Nafas menawarkan pemantau udara di luar ruangan pada 15 kota di berbagai lokasi Indonesia. Mitra-mitra ini biasanya berpartisipasi sebagai bagian dari inisiatif ESG masing-masing. Untuk penggunaan di dalam ruangan, Nafas telah menciptakan sistem Cleain Air Zones, yang menggabungkan teknologi pemantauan dan filtrasi, melayani berbagai perusahaan, sekolah, dan rumah.
Perusahaan ini telah menemukan dugaan besar bahwa kualitas udara di dalam ruangan serupa dengan kualitas udara di luar ruangan, karena kebocoran udara luar ruangan ke dalam bangunan-bangunan.
Meski baru populer akhir-akhir ini, startup yang menyediakan perangkat pemantauan udara kemungkinan menghadapi tantangan yang diberlakukan oleh pemerintah kota karena ketiadaan izin operasional. Namun, Jakubowski menjamin kepada Tech in Asia bahwa Nafas beroperasi sesuai aturan-aturan hukum.
Meski demikian, startup yang berurusan dengan polusi akan tetap penting untuk jangka panjang.
Menurut Jakubowski, dibutuhkan waktu 30 tahun bagi Inggris, 20 tahun bagi Amerika Serikat, dan 10 tahun bagi Cina setelah berlakunya undang-undang terkait udara bersih masing-masing–atau hukum yang setara–untuk menekan tingkat polusi.
“Bagi pemerintah, kita perlu melakukan mengidentifikasi dan membagi-bagi sumber polusi (source apportionment), serta mendata emisi (emissions inventory) secepat mungkin,” katanya. “Ini adalah masalah jangka panjang yang memerlukan strategi jangka panjang.”
Source apportionment menghubungkan emisi ke sumbernya dan membantu mengidentifikasi sejauh mana kontribusi masing-masing, sementara emissions inventory melacak jumlah dan jenis polutan yang dikeluarkan ke udara.
Pandangan serupa juga dimiliki Indarto Neura, founder startup bioteknologi B2B, Databiota.
Neura memandang kekhawatiran tentang polusi udara dan pemanasan global di Indonesia akan berlanjut setidaknya hingga 2040.
Berkolaborasi erat dengan Kementerian Perindustrian, teknologi Databiota menangkap emisi CO2 dari sektor industri sebelum mendaur ulangnya menjadi sumber protein yang berkelanjutan.
“Dengan teknologi Databiota, kami dapat mengurangi emisi CO2 dari pusat industri tempe dan tahu di Jakarta sekitar 30 hingga 60 persen,” kata Neura.
Startup ini meraup pendapatan sebagian melalui penjualan dan layanan pemeliharaan mesin penangkap CO2. Jumlah penggunanya diklaim meningkat 30 persen selama dua bulan terakhir.
Berhadapan dengan faktor-faktor utama
Jakubowski mendirikan Nafas pada 2020 setelah bekerja di Gojek, perusahaan transportasi online yang masih menghasilkan emisi rata-rata 0,45 hingga 1,97 kilogram setara karbon dioksida (CO2e) per perjalanan.
Kendaraan bermotor adalah salah satu sumber utama partikel halus di Jakarta, dengan kontribusi sekitar 32 hingga 57 persen, seperti yang ditekankan dalam laporan Nafas dan Halodoc. Pembakaran terbuka–cara umum membakar sampah yang langsung mengeluarkan asap ke udara–menyumbang sekitar 9 hingga 11 persen.
Gojek telah berupaya mengurangi emisi transportasinya selama bertahun-tahun, dengan komitmen untuk transisi semua kendaraan di platformnya menjadi kendaraan listrik pada tahun 2030.
Gojek juga mendorong para penggunanya untuk menggabungkan transportasi umum dalam perjalanan sehari-hari mereka melalui GoRide Transit, dan mengonsolidasikan beberapa order makanan dari restoran yang sama untuk mengurangi jumlah perjalanan pengiriman. Baru-baru ini, perusahaan juga memublikasikan inventaris emisinya, menurut kepala keberlanjutan GoTo, Tanah Sullivan.
Selain kendaraan listrik, cara efektif untuk mengurangi emisi langsung dalam transportasi adalah berbagi tumpangan, yang persis dilakukan oleh startup bernama Tebengan di area Jabodetabek.
Startup ini menawarkan layanan antar-jemput bersama, yang kebanyakan dikhususkan untuk para pekerja profesional dengan pendapatan menengah hingga menengah atas.
Daripada menggunakan kendaraan pribadi atau memesan layanan ride-hailing dengan hanya satu atau dua penumpang per kendaraan, pengguna dapat beralih ke Tebengan dengan rata-rata lima hingga enam penumpang di setiap antar-jemput, menurut founder dan CEO, Will Widjaja.
“Seiring kenaikan tingkat polusi, makin banyak orang yang aktif mencari cara ramah lingkungan dan efisien untuk berkeliling kota atau menuju tempat kerja,” kata Will, menambahkan bahwa Tebengan telah meraup laba kotor positif.
Tebengan adalah contoh bagaimana startup dapat berkontribusi mengatasi isu lingkungan, meski perusahaan tidak langsung mengatasi polusi udara.
Demikian pula, perusahaan pengelolaan limbah seperti Jangjo, Waste4Change, dan Duitin yang menangani pengolahan limbah untuk menghilangkan emisi dari pembakaran terbuka.
Secara kumulatif, perusahaan-perusahaan ini telah mengolah lebih dari 40.000 ton limbah, yang terutama dikumpulkan langsung dari rumah tangga atau para pelanggan individu di Jakarta dan kota-kota lainnya.
Pendiri dan CEO Jangjo, Joe Hansen, teringat saat mengunjungi tempat pembuangan akhir Bantargebang di Jawa Barat, yang telah menjadi sinonim dengan pembuangan limbah. Dampak lingkungan dan sosial dari tempat pembuangan akhir tersebut menginspirasinya untuk mendirikan perusahaan dalam pengelolaan limbah.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Waste4Change menunjukkan bahwa pembakaran limbah yang tidak terkendali di Jakarta Raya mengeluarkan hampir 13.000 gigagram karbon setiap tahun–hampir setara dengan emisi dari kebakaran yang melanda 109.000 hektar hutan Kalimantan pada 2021.
Dari semua startup yang menangani masalah polusi yang disebutkan di atas, hanya Databiota yang beroperasi tanpa pendanaan investor.
Selain Waste4Change, East Ventures dan AC Ventures keduanya telah berinvestasi di perusahaan EV Maka Motors dan Xurya, yang mengembangkan panel surya atap.
Perusahaan modal ventura tersebut menyatakan secara terpisah bahwa mereka terlibat dalam berbagai inisiatif untuk mengatasi masalah polusi di Jakarta baik secara mandiri maupun melalui perusahaan dalam portofolio masing-masing.
“Kami telah berinvestasi pada perusahaan-perusahaan tersebut bahkan sebelum ESG mulai mendapatkan minat yang kuat,” kata AC Ventures, sambil menekankan dedikasinya untuk “menemukan perusahaan yang dapat menghasilkan pengembalian usaha sekaligus membantu menciptakan lingkungan yang lebih baik.”